Belajar Dari Negara Tetangga
Melihat pengumuman majalah Forbes yang selalu menerbitkan laporan rangking perusahaan terbesar dunia, sekarang ini sudah tidak merasa aneh lagi jika peringkat tertinggi diduduki perusahaan yang berasal dari negara sosialis (china). Bahkan laporan pada terakhir peringkat 1 sampai dengan 3 diduduki perusahaan dari China. Padahal sebelumnya perusahaan dari Amerika Serikat selalu mendominasinya.
Para pelaku bisnis, atau mahasiswa yang ingin belajar bisnis kiblatnyapun mulai berubah. Jika dulu selalu berkiblat ke negara paman sam, sekarang mulai beralih ke China. Sudah banyak sekali pengusaha Indonesia yang menjalin hubungan bisnis dengan pelaku bisnis di China. Sudah banyak juga mahasiswa Indonesia yang sekolah bisnis di kota-kota besar China.
Semakin populernya China di mata pelaku bisnis Indonesia dan para generasi muda yang sekolah di China sangat wajar. Disamping kemajuan China yang di atas rata-rata negara lain, jarak dengan Indonesia sangat dekat dan biayanya murah. Jika ke Amerika memerlukan waktu lebih dari 24 jam penerbangan, ke China cukup 6 jam.
Biaya hidup di China juga sangat murah, bahkan bisa lebih murah jika dibandingkan dengan biaya hidup di Indonesia, apalagi jika dibandingkan dengan biaya hidup di Amerika Serikat yang terkenal sangat mahal. Biaya sekolahpun di China tidak beda jauh dengan di Indonesia, dan peringkat perguruan tinggi di China jauh diatas perguruan tinggi di Indonesia.
Semakin dekat tempat mencari ilmu, sudah semestinya kita sikapi secara positif. Jika sebelumnya untuk belajar bisnis memerlukan biaya yang besar karena harus ke Amerika Serikat, sekarang bisa ke China yang dari segi biaya sangat bisa lebih hemat. Pelaku bisnispun semakin mendapat keuntungan yang berlipat, karena untuk mencari partner bisnis bisa ke China disamping jaraknya dekat, ekonomi China bergerak melaju mengalahkan negara manapun termasuk Amerika Serikat yang selama puluhan tahun selalu menjadi yang terunggul.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mempunyai link kuat di China pernah mengatakan, kemajuan China yang luar biasa sampai pemerintah China kesulitan menyimpan uangnya. Amerika Serikat saja jika uangnya China yang ada di Amerika ditarik, Amerika langsung batuk-batuk.
Apa yang perlu segera di trace oleh bangsa Indonesia agar kemajuan China menular ke Indonesia. Negara komunis (sosialis) saja setelah menggeliat mampu memordernisasi cara bernegaranya menjadi negara adidaya yang mampu mengalahkan negara kapitalis, mestinya Indonesia tidak terlalu sulit untuk menjadi besar seperti China.
Potensi Indonesia juga besar sebagaimana China. Indonesia termasuk empat negara terbesar penduduknya setelah China, Amerika Serikat dan India. Potensi alam Indonesia juga berlimpah, sumberdaya manusianya juga tidak tertinggal jauh. Lantas apa yang menghambat Indonesia untuk menjadi negara maju sebagaimana China?
Jawabnya adalah sinergi kebijakan. Sinergi adalah hal yang teramat mahal di Indonesia. Dahlan Iskan, berkaitan dengan program mobil listriknya pernah mengeluh, bahwa presiden saja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan sebagai kepala negara di Indonesia sudah menyetujui pengembangan mobil listrik, tetapi di tingkat yang lebih bawah kebijakan mobil listrik tak kunjung bisa berjalan.
Dengan pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi, seharusnya tidak boleh kehilangan momentum sedikitpun dengan memperbaiki kekurangan dipemerintahan sebelumnya. Presiden Jokowi harus membangun komonikasi yang canggih, sehingga hambatan komonikasi (sinergi) antar lembaga pemerintahan bisa ditiadakan atau setidaknya bisa diminimalisir.
Mantan Presiden Megawati dalan sebuah talk show di televisi pernah mengatakan, bahwa kesulitan tertinggi disaat dirinya menjabat jadi presiden adalah kebijakan yang dibuat pemerintah pusat tidak selalu bisa berjalan sesuai rencana ditingkat pemerintah daerah. Sehingga apa yang sudah direncakan pemerintah pusat tidak bisa selalu di eksekusi menjadi kebijakan riel di tinggkat daerah.
Kenyataan seperti itu menjadi delema dan bukan masalah sepele untuk diselesaikannya. Dan tidak mungkin bangsa ini kembali ke era Presiden Suharto yang tidak demokratis, dan hanya bertumpu pada satu orang, yaitu presiden. Di era demokrasi sekarang ini tidak lagi ada pressure kekuasaan dari atas kebawah yang saklek. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah saat ini lebih cair, tidak mencerminkan sentralistik sama sekali.
Dampak dari era demokrasi ini membawa konsekuensi tersendiri. Masing-masing pihak merasa punya kekuatan yang tidak mau di intervensi oleh pihak manapun. Pada akhirnya menimbulkan sekat-sekat yang luar biasa banyak sehingga membuat kebijakan sulit di ekskusi di tingkat yang lebih rendah.
Pemerintah pusat harus segera mencari cara memecahkan hambatan yang kelihatannya sepele, namun berdampak luas terhadap program pembangunan secara terus menerus. Bahkan ditingkat kementerian sendiri sering kita dengar tidak adanya sinergi yang baik, cenderung berjalan sendiri-sendiri. Yang terbaru dapat kita saksikan komedi penegakan humkum di Indonesia, antar penegak hukum polri dan KPK bentrok berkepanjangan sampai presidenpun tak mampu menyelesaikannya.
Jika ingin maju seperti negara lain, Indonesia khususnya pemerintah harus mampu mengatasi hambatan komunikasi antar lembaga sehingga terjadi sinergi yang saling memperkuat setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Hampir semua negara maju, kita lihat Singapore, China, dan Kore Selatan, adalah suatu negara yang mampu mengatasi hambatan komonikasi antara lembaga negara. Cenderung topdown memang, tetapi jika karena itu kebijakan pemerintahan bisa berjalan sebagaimana yang sudah digariskan, tentu akan mendatangkan keuntungan tersendiri. Kebijakan pemerintahan di semua sektor akan bisa berjalan dan di ekskusi untuk kepentingan yang lebih luas. Ego kedaerahan, dan ego antar lembaga harus benar-benar dikesampingkan.
Para pelaku bisnis, atau mahasiswa yang ingin belajar bisnis kiblatnyapun mulai berubah. Jika dulu selalu berkiblat ke negara paman sam, sekarang mulai beralih ke China. Sudah banyak sekali pengusaha Indonesia yang menjalin hubungan bisnis dengan pelaku bisnis di China. Sudah banyak juga mahasiswa Indonesia yang sekolah bisnis di kota-kota besar China.
Semakin populernya China di mata pelaku bisnis Indonesia dan para generasi muda yang sekolah di China sangat wajar. Disamping kemajuan China yang di atas rata-rata negara lain, jarak dengan Indonesia sangat dekat dan biayanya murah. Jika ke Amerika memerlukan waktu lebih dari 24 jam penerbangan, ke China cukup 6 jam.
Biaya hidup di China juga sangat murah, bahkan bisa lebih murah jika dibandingkan dengan biaya hidup di Indonesia, apalagi jika dibandingkan dengan biaya hidup di Amerika Serikat yang terkenal sangat mahal. Biaya sekolahpun di China tidak beda jauh dengan di Indonesia, dan peringkat perguruan tinggi di China jauh diatas perguruan tinggi di Indonesia.
Semakin dekat tempat mencari ilmu, sudah semestinya kita sikapi secara positif. Jika sebelumnya untuk belajar bisnis memerlukan biaya yang besar karena harus ke Amerika Serikat, sekarang bisa ke China yang dari segi biaya sangat bisa lebih hemat. Pelaku bisnispun semakin mendapat keuntungan yang berlipat, karena untuk mencari partner bisnis bisa ke China disamping jaraknya dekat, ekonomi China bergerak melaju mengalahkan negara manapun termasuk Amerika Serikat yang selama puluhan tahun selalu menjadi yang terunggul.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mempunyai link kuat di China pernah mengatakan, kemajuan China yang luar biasa sampai pemerintah China kesulitan menyimpan uangnya. Amerika Serikat saja jika uangnya China yang ada di Amerika ditarik, Amerika langsung batuk-batuk.
Apa yang perlu segera di trace oleh bangsa Indonesia agar kemajuan China menular ke Indonesia. Negara komunis (sosialis) saja setelah menggeliat mampu memordernisasi cara bernegaranya menjadi negara adidaya yang mampu mengalahkan negara kapitalis, mestinya Indonesia tidak terlalu sulit untuk menjadi besar seperti China.
Potensi Indonesia juga besar sebagaimana China. Indonesia termasuk empat negara terbesar penduduknya setelah China, Amerika Serikat dan India. Potensi alam Indonesia juga berlimpah, sumberdaya manusianya juga tidak tertinggal jauh. Lantas apa yang menghambat Indonesia untuk menjadi negara maju sebagaimana China?
Jawabnya adalah sinergi kebijakan. Sinergi adalah hal yang teramat mahal di Indonesia. Dahlan Iskan, berkaitan dengan program mobil listriknya pernah mengeluh, bahwa presiden saja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan sebagai kepala negara di Indonesia sudah menyetujui pengembangan mobil listrik, tetapi di tingkat yang lebih bawah kebijakan mobil listrik tak kunjung bisa berjalan.
Dengan pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi, seharusnya tidak boleh kehilangan momentum sedikitpun dengan memperbaiki kekurangan dipemerintahan sebelumnya. Presiden Jokowi harus membangun komonikasi yang canggih, sehingga hambatan komonikasi (sinergi) antar lembaga pemerintahan bisa ditiadakan atau setidaknya bisa diminimalisir.
Mantan Presiden Megawati dalan sebuah talk show di televisi pernah mengatakan, bahwa kesulitan tertinggi disaat dirinya menjabat jadi presiden adalah kebijakan yang dibuat pemerintah pusat tidak selalu bisa berjalan sesuai rencana ditingkat pemerintah daerah. Sehingga apa yang sudah direncakan pemerintah pusat tidak bisa selalu di eksekusi menjadi kebijakan riel di tinggkat daerah.
Kenyataan seperti itu menjadi delema dan bukan masalah sepele untuk diselesaikannya. Dan tidak mungkin bangsa ini kembali ke era Presiden Suharto yang tidak demokratis, dan hanya bertumpu pada satu orang, yaitu presiden. Di era demokrasi sekarang ini tidak lagi ada pressure kekuasaan dari atas kebawah yang saklek. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah saat ini lebih cair, tidak mencerminkan sentralistik sama sekali.
Dampak dari era demokrasi ini membawa konsekuensi tersendiri. Masing-masing pihak merasa punya kekuatan yang tidak mau di intervensi oleh pihak manapun. Pada akhirnya menimbulkan sekat-sekat yang luar biasa banyak sehingga membuat kebijakan sulit di ekskusi di tingkat yang lebih rendah.
Pemerintah pusat harus segera mencari cara memecahkan hambatan yang kelihatannya sepele, namun berdampak luas terhadap program pembangunan secara terus menerus. Bahkan ditingkat kementerian sendiri sering kita dengar tidak adanya sinergi yang baik, cenderung berjalan sendiri-sendiri. Yang terbaru dapat kita saksikan komedi penegakan humkum di Indonesia, antar penegak hukum polri dan KPK bentrok berkepanjangan sampai presidenpun tak mampu menyelesaikannya.
Jika ingin maju seperti negara lain, Indonesia khususnya pemerintah harus mampu mengatasi hambatan komunikasi antar lembaga sehingga terjadi sinergi yang saling memperkuat setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Hampir semua negara maju, kita lihat Singapore, China, dan Kore Selatan, adalah suatu negara yang mampu mengatasi hambatan komonikasi antara lembaga negara. Cenderung topdown memang, tetapi jika karena itu kebijakan pemerintahan bisa berjalan sebagaimana yang sudah digariskan, tentu akan mendatangkan keuntungan tersendiri. Kebijakan pemerintahan di semua sektor akan bisa berjalan dan di ekskusi untuk kepentingan yang lebih luas. Ego kedaerahan, dan ego antar lembaga harus benar-benar dikesampingkan.